“Barangsiapa yang memunyai kebutuhan (hajat) kepada Allah atau salah seorang manusia dari anak-cucu adam, maka wudhulah dengan sebaik-baik wudhu. Kemudian shalat dua rakaat (shalat hajat), lalu memuji kepada Allah, mengucapkan salawat kepada Nabi saw Setelah itu, mengucapkan “Laa illah illallohul haliimul kariimu, subhaana.... (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari Abu Sirah an-Nakh’iy, dia berkata, “Seorang laki-laki menempuh perjalanan dari Yaman. Di tengah perjalan keledainya mati, lalu dia mengambil wudhu kemudian shalat dua rakaat (shalat hajat), setelah itu berdoa. Dia mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya saya datang dari negeri yang sangat jauh guna berjuang di jalan-Mu dan mencari ridha-Mu. Saya bersaksi bahwasanya Engkau menghidupkan makhluk yang mati dan membangkitkan manusia dari kuburnya, janganlah Engkau jadikan saya berhutang budi terhadap seseorang pada hari ini. Pada hari ini saya memohon kepada Engkau supaya membangkitkan keledaiku yang telah mati ini.” Maka, keledai itu bangun seketika, lalu mengibaskan kedua telinganya.” (HR Baihaqi; ia mengatakan, sanad cerita ini shahih)
“Ada seorang yang buta matanya menemui Nabi saw, lalu ia mengatakan, “Sesungguhnya saya mendapatkan musibah pada mata saya, maka berdoalah kepada Allah (untuk) kesembuhanku.” Maka Nabi saw bersabda, “Pergilah, lalu berwudhu, kemudian shalatlah dua rakaat (shalat hajat). Setelah itu, berdoalah....” Dalam waktu yang singkat, laki-laki itu terlihat kembali seperti ia tidak pernah buta matanya.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu memiliki kebutuhan (hajat), maka lakukanlah seperti itu (shalat hajat).” (HR Tirmidzi)
Setiap manusia memiliki kebutuhan dan keinginan, bahkan bisa dikatakan keinginan tersebut selalu ada dan tidak terbatas. Dari mulai keinginan yang dibutuhkan menyangkut dirinya sampai kepada keinginan yang dibutuhkan menyangkut sebuah negara. Bagi yang beriman, segala kebutuhan, cita-cita, harapan, dan keinginan tersebut, tidak serta merta selalu ditempuh melalui jalan usaha secara praktis belaka. Akan tetapi, ia akan terlebih dahulu mengadukannya kepada Allah SWT, sebab Dia adalah Dzat Yang Mahakaya, yang memiliki langit, bumi, dan seluruh alam semesta, Dzat Yang tidak bakhil dalam memberi kepada yang memohon dan meminta kepada-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah saw setiap kali menghadapi kesulitan beliau selalu mengadukannya kepada Allah SWT melalui shalat. Mengadu dan memohon kepada Tuhan yang tidak pernah sekali pun berada dalam lemah dan miskin. Kenapa? Karena shalat adalah jalan keluar bagi mereka yang memiliki kesulitan dan kebutuhan, juga sebagai media dimana seorang hamba mengadukan segala persoalan hidup yang dihadapinya.
Di dalam Al-Qur`an, Allah SWT berfirman, “Dan mintalah pertolongan kepada Tuhanmu dengan melaksanakan shalat dan dengan sikap sabar.” (QS Al-Baqarah [2]: 45)
Shalat hajat, ditetapkan atau disyariatkan yang secara khusus dikaitkan kepada ibadah bagi yang sedang memiliki kebutuhan atau permasalahan. Dan tentunya, ini lebih spesifik dibandingkan dengan shalat-shalat lain dan memiliki suatu keistimewaan sendiri dari Allah dan Rasulullah saw.
Selain itu, shalat hajat merupakan suatu cara paling tepat dalam mengadukan permasalahan yang sedang dihadapi oleh seorang muslim. Shalat hajat merupakan salah satu jenis shalat yang disyariatkan di dalam Islam. Dasar hukum shalat hajat terdapat di dalam hadits Rasulullah saw. Para sahabat, ulama salaf, dan para shalihin biasa melakukan shalat hajat, terutama ketika mereka memiliki suatu kebutuhan, baik dalam situasi mendesak maupun dalam situasi biasa.
Dari beberapa keterangan yang terdapat di kitab-kitab, baik ulama salaf maupun khalaf (kontemporer), shalat ini telah banyak membuktikan keampuhan atau terkabulnya seluruh permohonan dari kebutuhan yang mereka pinta kepada Allah, sebagaimana yang terdapat pada bukuini. Shalat hajat juga merupakan bagian dari keringanan dan rahmat dari Allah SWT bagi hamba-Nya.
Pada praktiknya shalat hajat ini sangat mudah dan bisa dilakukan pada siang hari atau malam, tidak seperti pada shalat-shalat lainnya secara umum. Misalnya, shalat dhuha hanya bisa dilakukan pada saat matahari terbit sampai datangnya waktu zuhur, atau shalat tahajud yang hanya bisa dilakukan pada malam hari. Sebagai pembuktian atas kebenaran sabda Rasulullah terhadap shalat hajat, tidak terhitung banyaknya orang yang telah mendapatkan keajaiban dan terkabulnya permintaan atau hajat mereka. Bahkan, ada yang mendapatkan keajaiban dengan diturunkan malaikat kepadanya untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, sebagaimana yang terdapat di dalam bab “Bukti Dan Kisah Nyata Orang-Orang Mendapatkan Keajaiban Shalat Hajat"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
MUSIM MUHASABAH
Hujan telah tiba. Telah lama tiba dan berkali-kali. Menuruti sekaligus memberi 'pelajaran' kepada siapapun yang tak sabar menungguinya. Menggerutui kenapa tak hadir-hadir. Meradang karena tak datang-datang. Padahal hukum alam punyai mekanisme self-protector-nya sendiri. Yang tak mempan diramal. Yang tak diralat walau digugat. Seperti kita dihukumi pada kondisi ini, alam juga tunduk, patuh, taat seperti kita (semestinya) taat.
Hujan bersama air mata jatuh berbutir-butir. Musim muhasabah memang telah tiba. Dia bisa berwujud syura' yang terhenti akibat salah satu ahli/fungsionaris-nya tidak menepati amalan yaumi yang telah disepakati atau berbuat maksiat yang karenanya Allah tidak menurunkan berkah-Nya pada amal-amal yang berbusa sia. Telah lama kita larut dan terhanyut dalam ritual syura'-syura' tak produktif seperti ini. Syura' yang tak lain hanyalah ajang berkumpul lain acara sembari meledek yang tak punya mekanisme syura' dalam prosesi ilmiahnya.
Apa yang layak kita banggakan? Gelar; ikhwan, akhawat dan akhi, ukhti kah? Darimana gelar itu? Apa syarat diperoleh gelar itu? Apa kapasitas minimal diperoleh gelar itu? Musti belajar apa dulu supaya dapat gelar itu? Apa kompetensi wajib untuk mendapat gelar itu? Siapa yang berhak memberi gelar itu? Sepertinya kita terlena pada status dan simbol yang bukan pada itu dakwah bertumpu.
Jika hanya bangga pada status dan simbol, terlalu murahan gelar ikhwan-akhawat dititahkan kepada aku, kamu dan kita.
Memetik bungan yang belum mekar atau mengunduh buah yang belum masak sama dengan melawan arus pembentukan kondisi untuk tumbuh kembang kader selanjutnya. Tetapi, tidak menanam pohon sama sekali atau bahkan menebang pohon yang telah kokoh juga tidak dibenarkan. Tergesa dan berlambat-lambat memang menjadi tren para pengegum status.
Musim muhasabah memang telah tiba. Ia bisa wujud dalam tafakkur yang dalam di penghujung malam. Meninggalkan sejauh mungkin manusia biasa yang tidur sepenuh kelopak. Ia juga bisa wujud dalam tawadhu menahan lapar. Melesat jauh dari penggemar kuliner yang memenuhi perutnya. Ia juga bisa wujud dalam 'diamnya dzikir, bicaranya doa'. Tak seperti pelawak yang tertawa sepenuh kerongkongan.
Musim muhasabah memang telah tiba. Waktunya kita diam berinspirasi dalam bingkai dakwah yang tenang tapi pasti, melaju tanpa henti. Salah satu yang patut kita syukuri adalah; dakwah sudah terlambat untuk dihentikan.
Hujan bersama air mata jatuh berbutir-butir. Musim muhasabah memang telah tiba. Dia bisa berwujud syura' yang terhenti akibat salah satu ahli/fungsionaris-nya tidak menepati amalan yaumi yang telah disepakati atau berbuat maksiat yang karenanya Allah tidak menurunkan berkah-Nya pada amal-amal yang berbusa sia. Telah lama kita larut dan terhanyut dalam ritual syura'-syura' tak produktif seperti ini. Syura' yang tak lain hanyalah ajang berkumpul lain acara sembari meledek yang tak punya mekanisme syura' dalam prosesi ilmiahnya.
Apa yang layak kita banggakan? Gelar; ikhwan, akhawat dan akhi, ukhti kah? Darimana gelar itu? Apa syarat diperoleh gelar itu? Apa kapasitas minimal diperoleh gelar itu? Musti belajar apa dulu supaya dapat gelar itu? Apa kompetensi wajib untuk mendapat gelar itu? Siapa yang berhak memberi gelar itu? Sepertinya kita terlena pada status dan simbol yang bukan pada itu dakwah bertumpu.
Jika hanya bangga pada status dan simbol, terlalu murahan gelar ikhwan-akhawat dititahkan kepada aku, kamu dan kita.
Memetik bungan yang belum mekar atau mengunduh buah yang belum masak sama dengan melawan arus pembentukan kondisi untuk tumbuh kembang kader selanjutnya. Tetapi, tidak menanam pohon sama sekali atau bahkan menebang pohon yang telah kokoh juga tidak dibenarkan. Tergesa dan berlambat-lambat memang menjadi tren para pengegum status.
Musim muhasabah memang telah tiba. Ia bisa wujud dalam tafakkur yang dalam di penghujung malam. Meninggalkan sejauh mungkin manusia biasa yang tidur sepenuh kelopak. Ia juga bisa wujud dalam tawadhu menahan lapar. Melesat jauh dari penggemar kuliner yang memenuhi perutnya. Ia juga bisa wujud dalam 'diamnya dzikir, bicaranya doa'. Tak seperti pelawak yang tertawa sepenuh kerongkongan.
Musim muhasabah memang telah tiba. Waktunya kita diam berinspirasi dalam bingkai dakwah yang tenang tapi pasti, melaju tanpa henti. Salah satu yang patut kita syukuri adalah; dakwah sudah terlambat untuk dihentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar